Muhammad Iqbal |
A. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal (1877-1938 M) lahir di Sialkot, Punjab,
wilayah Pakistan (sekarang), 9 Nopember 1877M, dari keluarga yang religius.
Ayahnya, Muhammad Nur adalah seorang tokoh sufi, sedang ibunya, Imam Bibi, juga
dikenal sebagai muslimah yang salehah. Pendidikan formalnya dimulai di Scottish
Mission School, di Sialkot, di bawah bimbingan Mir Hasan, seorang guru yang
ahli sastra Arab dan Persia. Kemudian di Goverment College, di Lahore, sampai
mendapat gelas BA, tahun 1897, dan meraih gelar Master dalam bidang filsafat,
tahun 1899, dibawah bimbingan Sir Thomas Arnold, seorang orientalis terkenal.
Selama pendidikan ini, Iqbal menerima beasiswa dan dua medali emas karena
prestasinya dalam bahasa Arab & Inggris2 Iqbal kemudian menjadi dosen di
Goverment College dan mulai menulis syair-syair dan buku. Akan tetapi, di sini
tidak dijalani lama, karena pada tahun 1905, atas dorongan Arnold, Iqbal
berangkat ke Eropa untuk melanjutkan studi di Trinity College, Universitas
Cambridge, London, sambil ikut kursus advokasi di Lincoln Inn. Di lembaga ini
ia banyak belajar pada James Wird dan JE. McTaggart, seorang neo-Hegelian. Juga
sering diskusi dengan para pemikir lain serta mengunjungi perpustakaan
Cambridge, London dan Berlin. Untuk keperluan penelitiannya, ia pergi ke Jerman
mengikuti kuliah selama dua semester di Universitas Munich yang kemudian
mengantarkannya meraih gelar doctoris philosophy gradum, gelar doctor dalam
bidang filsafat pada Nopember 1907, dengan desertasi The Development of
Metaphysics in Persia, di bawah bimbingan Hommel. Selanjutnya, balik ke London
untuk meneruskan studi hukum dan sempat masuk School of Political Science3.
Yang penting dicatat dalam kaitannya dengan gagasan seni
Iqbal adalah tren pemikiran yang berkembang di Eropa saat itu. Menurut MM
Syarif, masyarakat Jerman, saat Iqbal tinggal di sana, sedang berada dalam
cengkeraman filsafat Nietzsche (1844-1990 M), yakni filsafat kehendak pada
kekuasaan. Gagasannya tentang manusia super (superman) mendapat perhatian besar
dari para pemikir Jerman, seperti Stefen George, Richard Wagner dan Oswald
Spengler. Hal yang sama terjadi juga di Perancis, berada dibawah pengaruh
filsafat Henri Bergson (1859-1941 M), élan vital, gerak dan perubahan.
Sementara itu, di Inggris, Browning menulis syair-syair yang penuh dengan kekuatan
dan Carlyle menulis karya yang memuji pahlawan dunia. Bahkan, dalam beberapa
karyanya, Lloyd Morgan dan McDougall, menganggap tenaga kepahlawanan sebagai
essensi kehidupan dan dorongan perasaan keakuan (egohood) sebagai inti
kepribadian manusia. Filsafat vitalitis yang muncul secara simultan di Eropa
tersebut memberikan pengaruh yang besar pada Iqbal4.
Selanjutnya, saat di London yang kedua kalinya, Iqbal
sempat ditunjuk sebagai guru besar bahasa dan sastra Arab di Universitas
London, menggantikan Thomas Arnold. Juga diserahi jabatan ketua jurusan bidang
filsafat dan kesusastraan Inggris di samping mengisi ceramah-ceramah keislaman.
Ceramahnya di Caxton Hall, yang pertama kali diadakan, kemudian disiarkan mass
media terkemuka Inggris. Namun, semua itu tidak lama, karena Iqbal lebih
memilih pulang ke Lahore, dan membuka praktek pengacara di samping sebagai guru
besar di Goverment College Lahore. Akan tetapi, panggilan jiwa seninya yang
kuat membuat ia keluar dari profesi tersebut. Ia juga menolak ketika ditawari
sebagai guru besar sejarah oleh Universitas Aligarh, tahun 1909. Iqbal lebih
memilih sebagai penyair yang kemudian mengantarkannya ke puncak popularitas
sebagai seorang pemikir yang mendambakan kebangkitan dunia Islam5.
Akhir tahun 1926, Iqbal masuk kehidupan politik ketika
dipilih menjadi anggota DPR Punjab. Bahkan, tahun 1930, ia ditunjuk sebagai
presiden sidang Liga Muslim yang berlangsung di Allahabad, yang menelorkan
gagasan untuk mendirikan negara Pakistan sebagai alternatif atas persoalan
antara masyarakat muslim dan Hindu. Meski mendapat reaksi keras dari para
politisi, gagasan tersebut segera mendapat dukungan dari berbagai kalangan,
sehingga Iqbal diundang untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar di London,
tahun 1932, juga konferensi yang sama pada tahun berikutnya, guna membicarakan
gagasan tersebut. Tahun 1935 ia diangkat sebagai ketua Liga Muslim cabang
Punjab dan terus berkomunikasi dengan Ali Jinnah. Namun, pada tahun yang sama,
ia mulai terserang penyakit, dan semakin parah sampai mengantarkannya pada
kematian, tanggal 20 April 19386.
Iqbal mewariskan banyak karya tulis, berbentuk prosa,
puisi, jawaban atas tanggapan orang atau kata pengantar bagi karya orang lain.
Kebanyakan karya-karya ini menggunakan bahasa Persia, semua ia maksudkan agar
karyanya bisa diakses oleh dunia Islam, tidak hanya masyarakat India. Sebab,
saat itu, bahasa Persi adalah bahasa yang dominan di dunia Islam dan dipakai
masyarakat terpelajar. Karya-karyanya, antara lain, The Development of
Metaphysic in Persia (desertasi, terbit di London, 1908), Asra-I Khudi (Lahore,
1916, tentang proses mencapai insan kamil) Rumuz-I Bukhudi (Lahore, 1918),
Javid Nama (Lahore, 1932), The Reconstruction of Religious Thought in Islam
(London, 1934), Musafir (Lahore, 1936), Zarb-I Kalim (Lahore, 1937), Bal-I
Jibril (Lahore, 1938), dan Letters and Writings of Iqbal (Karachi, 1967,
kumpulan surat dan artikel Iqbal).
B. Pemikiran Pembaruan Islam Muhammad Iqbal
Keautentikan,
salah satu bentuk sebuah pemikiran Muhammad Iqbal tentang ide yang ikur
menyinari pemikirannya. Penyair-filosof India ini terilhami oleh pemkiran Eropa
dan Islam, Iqbal menolak baik konsepsi kemajuan Eropa maupun pola budaya Islam
Kontemporer di India. Dia mengajak “kaum muslim sejati” untuk melawan mullahisme,
mistisme, dan monarki serta melawan cara-cara asing. Dalam
konteks luas, dia menyeru kepada semua manusia untuk bangkit mengatasi
cara-cara tradisional serta ide-ide dan terknologi Barat guna menemukan
kreatifitas, semangat dan keautentikan diri mereka sendiri.
- Paham Dinamisme
Hukum dalam Islam menurut Iqbal tidak bersifat statis,
tetapi dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Islam pada hakikatnya
bersifat dinamisme, demikian pendapat Iqbal. Alquran senantiasa mengajarkan
serta menganjurkan pemakaian akal terhadap ayat atau tanda yang terdapat pada
alam, seperti matahari, bulan, bintang, pergantian siang dan malam dan
sebagainya. Orang yang tidak peduli dengan perubahan hal tersebut maka akan
tinggal buta terhadap masa yang akan datang. Menurut Iqbal konsep alam ialah
bersifat dinamis atau berkembang.
Islam menolak konteks lama yang mengatakan bahwa alam itu
bersifat statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui adanya
gerak dan perubahan dalam hidup sosial manusia. Dan prinsip yang dipakai dalam
soal gerak dan perubahan itu ialah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam pembaharuan Islam.
Intisari hidup adalah gerak, sedang hidup ialah
menciptakan, maka Iqbal berseru kepada umat Islam supaya bangun dan menciptakan
dunia baru. Begitu tinggi ia menghargai gerak, sehingga ia menyebut bahwa kafir
yang aktif lebih baik dari muslim yang suka tidur. Dalam syair-syairnya ia
mendorong umat Islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam.
Dalam pembaharuannya Iqbal tidak berpendapat bahwa
Baratlah yang harus dijadikan sebagai model. Kapitalisme dan Imperialisme Barat
tidak dapat diterimanya. Barat menurut penilainnya, amat banyak dipengaruhi
oleh materialisme dan telah mulai meninggalkan agama, yang harus diambil umat
Islam dari Barat hanyalah ilmu pengetahuannya.
Sebagaiman yang telah disinggung bahwa Iqbal menjadi
Presiden Liga Muslimin di tahun 1930. Dalam hubungan ini baik disebut bahwa
sebelum pergi ke Eropa, ia sebenarnya ialah seorang nasionalis India. Tetapi
kemudian ia ubah pandangannya mengenai nasionalis, dikarenakan dalam
pandangannya nasionalisme bukanlah ajaran islam. Alasannya ia curiga bahwa
dibelakang nasionalisme india terletak konsep hinduisme dalam bentuk baru.
Di India terdapat dua umat besar dan dalam pelaksaan demokrasi
barat india, kenyataan ini harus diperhatikan. Tuntutan umat islam untuk
memperoleh pemerintahan sendiri, di dalam atau diluar kerajaan Inggris, adalah
tuntutan yang wajar. India pada hakikatnya tersusun dari dua bangsa, bangsa
islam dan bangsa hindu menuju pada pembentukan negara tersendiri, terpisah dari
Negara hindu di India.
Tujuan membentuk negara tersendiri ini, ia tegaskan dalam
rapat tahunan Liga Muslimin di tahun 1930. “saya ingin melihat Punjab, daerah
perbatasan utara, sindi dan balutistan bergabung menjadi satu Negara.”
Disinilah ide dan tujuan membentuk Negara tersendiri diumumkan secara resmi dan
kemudian menjadi tujuan perjuangan nasional umat Islam India. Tidak
mengherankan kalo Iqbal dipandang sebagai “bapak Pakistan”.
Ide Iqbal bahwa umat Islam India merupakan suatu bangsa
dan oleh karena itu memerlukan satu Negara tersendiri tidaklah bertentangan
dengan pendiriannya tentang persaudaraan dan persatuan umat Islam. Ia bukanlah
seorang nasionalis dalam arti yang sempit. Ia sebenarnya adalah seorang
pan-Islamis. Islam, bukanlah nasionalisme dan bukan pula imperialisme, tetapi
Liga Bangsa-Bangsa. Islam dapat menerima batas-batas yang memisahkan satu
daerah dari yang lain dan dapat menerima perbedaan bangsa hanya untuk
memudahkan soal hubungan antara sesama mereka. Batas dan perbedaan bangsa itu
tidak boleh mempersempit ufuk pandangan umat Islam. Bagi Iqbal dunia Islam
seluruhnya merupakan satu keluarga yang terdiri atas republik-republik, dan
Pakistan yang akan dibentuk adalah salah satu dari republik itu.
Pengaruh Iqbal dalam pembaharuan India ialah menimbulkan
paham dinamisme dikalangan umat Islam dan menunjukkan jalan yang harus mereka
tempuh untuk masa depan agar sebagai umat minoritas di anak benua itu mereka
dapat hidup bebas dari tekanan-tekanan dari luar.
- Politik
Dalam melakukan pembaruan politik India, Iqbal tidak
memerlukan model Barat. Sebab kapitalisme dan imprialisme yang
berkembang di Barat ternyata mengandung matrialisme dan ateisme,
dimana keduanya merupakan ancaman besar bagi peri kemanusiaan. Menurut Iqbal
hanyalah ilmu pengetahuan yang harus diambil oleh umat Islam.
Disisi lain, kalau kapitalis ia tolak, maka sosialisme
dapat ia terima. Ia bersikap simpatik terhadap gerakan sosialisme di Barat
dan di Rusia. Antara Islam dan sosialisme, ia melihat ada nanyak
persamaan dalam konteks ini Iqbal menyatakan bahwa Bolysyrisme tambah
Tuhan, maka hampir identik dengan Islam, dan jika suatu ketika Islam menelaah
Rusia sebaliknya Rusia menelaah Islam saya tidak akan terperanjat.
Menurut Iqbal, nasionalisme India mencakup Muslim dan
Hindu merupakan gagasan menarik, tetapi sulit mewujudkan, bahkan ia curiga
bahwa di belakang nasionalisme itu terletak Hindusme bentuk baru. Oleh
sebab itu, umat Islam India perlu mendirikan Negara sendiri, hal ini ditegaskan
dalam rapat tahunan Liga Muslim pada tahun 1930.
- Methafisika
Dalam pemikiran filsafat, Iqbal mengumandangkan misi
kekuatan dan kekuasaan Tuhan, selain itu beliau juga menyatakan bahwasanya pusat
dan landasan organisasi kehidupan manusia adalah ego yang dimaknai sebagai
seluruh cakupan pemikiran dan kesadaran tentang kehidupan. Ia senantiasa
bergerak dinamis untuk menuju kesempurnaan dengan cara mendekatkan diri pada
ego mutlak, Tuhan. Karena itu, kehidupan manusia dalam keegoanya adalah
perjuangan terus menerus untuk menaklukkan rintangan dan halangan demi
tergapainya Ego Tertinggi. Dalam hal ini, karena rintangan yang terbesar adalah
benda atau alam, maka manusia harus menumbuhkan instrumen-instrumen tertentu
dalam dirinya, seperti daya indera, daya nalar dan daya-daya lainnya agar dapat
mengatasi penghalang-penghalang tersebut. Selain itu, manusia juga harus terus
menerus menciptakan hasrat dan cita-cita dalam kilatan cinta (`isyq), keberanian
dan kreativitas yang merupakan essensi dari keteguhan pribadi. Seni dan
keindahan tidak lain adalah bentuk dari ekspresi kehendak, hasrat dan cinta ego
dalam mencapai Ego Tertinggi tersebut.
Kendati mengumandangkan misi kekuatan dan kekuasaan
Tuhan, namun Iqbal tidak menjadikannya membunuh ego kreasi yang bersemayam di
kedalaman diri. Ia selalu membuka katup cakrawala pemikirannya atas dunia di
luar Islam (terutama Barat). Ketika Iqbal meramu postulat, “Saya berbuat,
karena itu saya ada (I act, therefore I exist)”, membedakannya dengan pemikir
Muslim terdahulu yang banyak terjebak kenikmatan “asketisme di sana “.
Menyatukan diri dengan Tuhan, tetapi ego kreasi dalam
diri terkikis habis. Gejala tersebut oleh Iqbal diistilahkan dengan “kesadaran
mistis” dan tentunya sangat bertentangan dengan “kesadaran profetik”. Kesadaran
mistik adalah istilah yang digunakan Iqbal untuk mengategorikan konsep wahdah
al-wujud sebagai salah satu usaha yang dilakukan manusia dengan menafikan
kehendak pribadi ketika mengidentifikasikan diri dengan Tuhan. Maka, aktivitas
kreatif menjadi tidak terlihat dalam hidup keseharian. Sedangkan, kesadaran
profetik adalah sebuah cara mengembangkan kesadaran melalui aktivitas kreatif
yang bebas dan melalui kesadaran bahwa aktivitas kreatif manusia adalah
aktivitas Ilahi.
Jadi, konsep wahdah al-wujud dalam perspektif Iqbal
adalah pengidentifikasian keinginan pribadi dengan kehendak Tuhan melalui cara
penyempurnaan diri, bukan penafian diri. Kehendak manusia pada posisi demikian
menjadi otonom, tetapi tetap dalam koridor bimbingan Ilahi. Iqbal tidak serta
merta mengakui kedaulatan postulat milik Descartes, cogito ergo sum, karena
eksistensi manusia tidak ada hanya dengan melakukan kegiatan berpikir untuk
mengeksiskan diri. Intelektualisme yang hanya mendewakan rasionalitas tidak
akan eksis tanpa ada aktivisme yang berdimensi praktis.
- Estetika
Berdasarkan konsep kepribadian yang memandang kehidupan
manusia yang berpusat pada ego inilah, Iqbal memandang kemauan adalah sumber
utama dalam seni, sehingga seluruh isi seni –sensasi, perasaan, sentimen,
ide-ide dan ideal-ideal— harus muncul dari sumber ini. Karena itu, seni tidak
sekedar gagasan intelektual atau bentuk-bentuk estetika melainkan pemikiran
yang lahir berdasarkan dan penuh kandungan emosi sehingga mampu menggetarkan
manusia (penanggap)8. Seni yang tidak demikian tidak lebih dari api yang telah
padam. Karena itu, Iqbal memberi kriteria tertentu pada karya seni ini.
Pertama, seni harus merupakan karya kreatif sang seniman, sehingga karya seni
merupakan buatan manusia dalam citra ciptaan Tuhan. Ini sesuai dengan pandangan
Iqbal tentang hidup dan kehidupan. Menurutnya, hakekat hidup adalah kreativitas
karena dengan sifat-sifat itulah Tuhan sebagai sang Maha Hidup mencipta dan
menggerakan semesta. Selain itu, hidup manusia pada dasarnya tidaklah terpaksa
melainkan sukarela, sehingga harus ada kreativitas untuk menjadikannya
bermakna. Karena itu, dalam pandangan Iqbal, dunia bukan sesuatu yang hanya
perlu dilihat atau dikenal lewat konsep-konsep tetapi sesuatu yang harus
dibentuk dan dibentuk lagi lewat tindakan-tindakan nyata.
Dalam pemikiran filsafat, gagasan seni Iqbal tersebut
disebut sebagai estetika vitalisme, yakni bahwa seni dan keindahan merupakan
ekspresi ego dalam kerangka prinsip-prinsip universal dari suatu dorongan hidup
yang berdenyut di balik kehidupan sehingga harus juga memberikan kehidupan baru
atau memberikan semangat hidup bagi lingkungannya, atau bahkan mampu memberikan
“hal baru” bagi kehidupan. Dengan menawan sifat-sifat Tuhan dalam penyempurnaan
kualitas dirinya, manusia harus mampu menjadi “saingan” Tuhan. Di sinilah
hakekat pribadi yang hidup dalam diri manusia dan menjadi kebanggaannya
dihadapan Tuhan. Mari kita lihat syairnya. Kedua, berkaitan dengan pertama,
kreatifitas tersebut bukan sekedar membuat sesuatu tetapi harus benar-benar
menguraikan jati diri sang seniman, sehingga karyanya bukan merupakan tiruan
dari yang lain (imitasi), dari karya seni sebelumnya maupun dari alam semesta.
Bagi Iqbal, manusia adalah pencipta bukan peniru, dan pemburu bukan mangsa,
sehingga hasil karya seninya harus menciptakan ‘apa yang seharusnya’ dan ‘apa
yang belum ada’, bukan sekedar menggambarkan ‘apa yang ada’ (Azzam, 1985, 141).
Dalam salah satu puisinya, Iqbal mengecam dan menyebut sebagai kematian
terhadap seni Timur yang meniru seni Barat.
Di negeri ini berjangkit kematian imaginasi
Karena seni asing dan mengikuti Barat
Kulihat awan kelabu dan Behzad masaku
Merombak dunia Timur yang kemilau nan abadi
O, para seni di Timur
Usai sudah kreasi masa kini dan masa lalu
Berapa banyak kreasi tercipta
Tunjukkan pada kami pribadi
Pada semua bidang membumbung tinggi
Konsep-konsep seni dan keindahan Iqbal tersebut hampir
sama dengan teori seni Benedetto Croce (1866-1952 M), seorang pemikir Italia
yang sezaman dengan Iqbal. Menurutnya, seni adalah kegiatan kreatif yang tidak
mempunyai tujuan dan juga tidak mengejar tujuan tertentu kecuali keindahan itu
sendiri, sehingga tidak berlaku kriteria kegunaan, etika dan logika. Kegiatan
seni hanya merupakan penumpahan perasaan-perasaan seniman, visi atau
intuisinya, dalam bentuk citra tertentu, baik dalam bentuk maupun kandungan
isinya. Jika hasil karya seni ini kemudian diapresiasi oleh penanggap, hal itu
disebabkan karya seni tersebut membangkitkan intuisi yang sama pada dirinya
sebagaimana yang dimiliki oleh sang seniman10. Dengan pernyataan seperti ini,
mengikuti Syarif, teori Croce berarti terdiri atas empat hal, (1) bahwa seni
adalah kegiatan yang sepenuhnya mandiri dan bebas dari segala macam
pertimbangan etis, (2) bahwa kegiatan seni berbeda dengan kegiatan intelek.
Seni lebih merupakan ekspresi diri atas pengalaman individu (intuitif) dan
menghasilkan pengetahuan langsung dalam bentuk individualitas kongkrit, sedang
intelek lebih merupakan kegiatan analitis dan menghasilkan pengetahuan
reflektif. (3) bahwa kegiatan seni ditentukan oleh perkembangan kepribadian
seniman, (4) bahwa apresiasi adalah penghidupan kembali pengalaman-pengalaman
seniman didalam diri penanggap.
Pandangan seni Iqbal tidak berbeda dengan teori Croce
tersebut, kecuali pada bagian pertama. Iqbal menolak keras kebebasan seni dan
keterlepasaannya dari etika. Iqbal justru menempatkan seni dibawah kendali
moral, sehingga tidak ada yang bisa disebut seni –betatapun ekspresifnya
kepribadian sang seniman— kecuali jika mampu menimbulkan nilai-nilai yang
cemerlang, menciptakan harapan-harapan baru, kerinduan dan aspirasi baru bagi
peningkatan kualitas hidup manusia dan masyarakat. Dengan demikian, gagasan
seni Iqbal tidak hanya ekspresional tetapi sekaligus juga fungsional.
- Etika
Dalam filsafat tentang etika Iqbal menghimbau masyarakat
timur (umat Islam), untuk kembali kepada ajaran Islam yang agung serta menjauhi
peradaban Barat (Eropa) yang merusak. Iqbal memandang bahwasanya sebab
kemunduran umat Islam adalah kecendrungan yang membabibuta terhadap kebudayaan
Barat yang telah membunuh karakter mereka dengan terus mengadopsi budaya-budaya
Barat tanpa proses filterisasi.
Iqbal mengungkapkan pandangannya terhadap budaya Barat:
“Akan tetapi terpulanglah kepada kalian dan peradaban tanpa agama yang
menghadapi pertarungan yang berkepanjangan dengan al-Hak. Sesungguhnya
malapetaka ini telah menghasilkan bencana yang besar kepada dunia seperti
kembalinya al-Latta dan al-Uzza (keberhalaan) ke Tanah Haram Mekah, dimana hati
manusia menjadi buta dengan sihirnya dan jiwa menjadi mati. Ia telah memadamkan
cahaya hati atau menghilangkan hati dari pemiliknya. Ia juga telah mengubah
siang yang terang benderang dengan meninggalkan insan tanpa roh dan tanpa nilai
apa-apa lagi”.
“Walaupun ilmu pengetahuan berkembang dan perusahaan maju
di Eropa, namun lautan kegelapan memenuhi kehidupan mereka. Sesungguhnya ilmu
pengetahuan, hikmah, politik dan pemerintahan yang berjalan di Eropa tidak
lebih dari ketandusan dan kekeringan. Perkembangan itu telah mengorbankan darah
rakyat dan jauh sekali dari arti nilai kemanusiaan dan keadilan. Apa yang
terjadi ialah kemungkaran, meminum arak dan kemiskinan terbentang luas di
negeri mereka. Inilah akibat yang menimpa umat manusia yang tidak tunduk kepada
undang-undang Samawi ciptaan Ilahi. Inilah dia negeri-negeri yang hanya
berbangga dengan terang benderang cahaya listrik dan teknologi modern. Dan
sesungguhnya negeri-negeri yang dikuasai oleh alat-alat dan industri ini telah
memusnahkan hati-hati manusia dan membunuh kasih sayang, kesetiaan dan makna
kemanusiaan yang mulia”.
Selanjutnya kata Iqbal, gerakan perkembangan ilmu
pengetahuan dan rasionalisasi yang berlangsung dikalangan peradaban Barat tidak
hanya membawa bahaya bagi bangsa mereka sendiri. Perkembangan teknologi
informasi di era modern telah membawa kerusakan ini merasuki negeri-negeri Islam,
yang merusak kejiwaan dan spritual umat Islam. Bagaimanapun, apa yang
dikhawatirkan ialah munculnya gejala kebekuan dan kelumpuhan di kalangan umat
Islam itu sendiri.
Walaupun di satu sisi peradaban Barat dilihat secara
positif dari aspek ilmiah, tetapi bagi Iqbal, beliau merasakan bahwa di dalam
jiwa bangsa Barat tidak ada lagi wujud kasih sayang sesama umat manusia
walaupun mereka sering mendengungkan nilai-nilai humanisme. Dan tidak ada lagi
kepercayaan Barat kepada kebebasan, keadilan atau persamaan. Apa yang terjadi
hanyalah bersifat teori dan bukannya praktek.
Dalam pengulasan lebih lanjut, Iqbal secara berani
mengeluarkan pernyataan: “Perkembangan Eropa itu sebenarnya tidak pernah
memasuki kehidupan kemasyarakatan dalam bentuk yang amali dan hidup. Apa yang
mereka slogankan dengan konsep demokrasi hanyalah pembahasan ilmiah, tetapi apa
yang sebenarnya adalah penimbunan kekayaan golongan hartawan di atas air mata
golongan fakir miskin”.
Justru bagi Iqbal, hanya Islam yang mampu menyelesaikan
semua permasalahan manusia. Ini karena kaum Muslimin memiliki pemikiran dan
akidah yang kukuh dan sempurna – diasaskan atas petunjuk wahyu (al-Quran; S 3 :
110). Pemikiran dan pegangan yang kukuh ini dapat menjadi solusi kepada
pelbagai problem kehidupan karena mempunyai kekuatan sama ada dari segi rohani
maupun jasmani.
Di sisi lain, Islam mengandung kekuatan yang mampu
menangani semua permasalahan hidup manusia disebabkan sistem hidupnya yang
bersandarkan kepada keimanan dan keagamaan. Dalam waktu yang sama Islam juga
mendukung prinsip kebebasan, keadilan sesama manusia dalam kelompok sosialnya
(al-Quran; S 4 : 36). Oleh karena itu ia mendorong manusia untuk melaksanakan
ajaran Islam demi tercapainya tujuan tersebut.
Adapun peraturan ciptaan manusia telah gagal mengemukakan
gagasan penyelesaian dan mengangkat derajat kemanusian kerana ia bersifat lemah
(sementara). Dunia yang selama ini ditafsirkan dari pendekatan materialisme
adalah dunia yang buta dan kosong. Apa yang bergerak selama ini adalah gerakan
tanpa nilai dan tanpa memiliki apa-apa tujuan. Berbeda sekali dengan pendekatan
al-Quran terhadap kejadian alam, di mana dunia dan alam menurut ajaran Islam
adalah berasaskan kepada kebenaran dan keadilan (al-Quran; S 4 : 135, S 6 : 153
dan S 16 : 90).
Sesungguhnya, gagasan pemikiran yang diberikan oleh Iqbal
telah memberikan harapan yang baik kepada Islam di masa depan . Bagaimanapun,
apa yang diragukan hanyalah, sejauh manakah perlaksanaan Islam dalam kehidupan
masyarakatnya pada waktu ini?. Adakah Islam yang hakiki terwujud dikalangan
umatnya atau hanya sekadar dari aspek syiar semata-mata?.
No comments:
Post a Comment